Aturan ‘Holding’ BUMN Mengemuka pada Pembahasan RUU BUMN

Aturan ‘Holding’ BUMN Mengemuka pada Pembahasan RUU BUMN
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Muhammad Hekal.

 

Metrobanten, DPR – Aturan holding perusahaan BUMN menjadi salah satu pembahasan yang mengemuka dalam revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Muhammad Hekal menjelaskan, aturan holdingisasi perusahaan BUMN pada pemerintahan periode pertama Presiden Joko Widodo belum terakomodir dalam UU BUMN.

Salah satu yang menjadi pembenaran dari holding itu, kendati saham-saham BUMN itu dimiliki satu induk perusahaan BUMN, pemerintah menempatkan saham dwiwarna (golden share), yang bersifat sebagai kendali pemerintah di anak perusahaan, yang sebetulnya bukan perusahaan BUMN lagi.

Hekal mengungkapkan hal tersebut usai memimpin diskusi Panja RUU BUMN Komisi VI DPR RI dengan para pakar Universitas Brawijaya, di Surabaya, Jawa Timur, Senin (6/9/2021). Pakar Unbraw tersebut di antaranya Dr. Sihabudin SH.MH., Dr. Sukarmi, SH.MH., Dr. Reka Dewantara,SH.MH., dan Dr. Budi Santoso,SH.LL.M. Dalam kesempatan itu, masing-masing pakar memberikan masukan terkait RUU BUMN yang dibahas Komisi VI DPR RI.

“(Aturan holdingisasi) Itu yang belum terakomodir dalam UU ini. Karena implikasinya kalau sudah bukan menjadi (perusahaan) BUMN, apakah masih bisa diberi penugasan dari negara? Yang kedua, apakah mereka bisa dilakukan privatisasi dengan persetujuan DPR? Bisa jadi ketika menjadi anak perusahaan, bukan BUMN lagi, sebetulnya itu cukup dilakukan holding perusahaan melalui pemegang saham, dan tidak lagi persetujuan DPR. Jadi ini dampak hukumnya cukup banyak, itu yang harus kita matangkan (dalam revisi UU BUMN). Karena memang dilematis juga, dan kita mau tampung di UU baru,” jelas Hekal.

Baca juga: Lestari Moerdijat: Amandemen UUD 1945 Perlu Melibatkan Seluruh Elemen Bangsa

Jadi, tambah politisi Partai Gerindra tersebut, Komisi VI DPR RI masih mencari rumusan terkait definisi saham dwiwarna, apakah ini bisa merupakan perwakilan daripada peran dan wewenang pemerintah dalam perusahaan BUMN yang statusnya sudah tidak lagi menjadi BUMN.

Selain itu, sejumlah pembahasan yang mengemuka lainnya, termasuk dalam diskusi dengan pakar dari Universitas Padjajaran dan Universitas Gadjah Mada yang digelar sebelumnya, yakni mengenai business judgement rules versus government judgement rules. Hal ini terkait tarik menarik antara pemberlakuan UU Keuangan Negara dengan UU BUMN.

“Kalau semua uang yang dikelola dalam (perusahaan) BUMN dianggap keuangan negara, dan mengikuti rezim (aturan) keuangan negara, ya tentu punya dampak harus dikelola sesuai dengan rumusan APBN, dan kemudian juga punya dampak hukum yang berbeda. Sehingga direksi (perusahaan BUMN) kalau melakukan keputusan yang dianggap merugikan negara terancam dengan pidana korupsi dan seterusnya. Sedangkan kalau kita bicara dengan rezim korporasi, (ada potensi kerugian) keuangan perusahaan tentu kenanya perdata,” jelas Hekal.

Legislator dapil Jawa Tengah IX ini mengatakan, sejumlah hal tersebut harus dijawab dalam revisi UU BUMN.

“Menurut saya hal itu yang banyak ditekankan dalam beberapa rapat. Kalau lainnya relatif secondary issue, misalnya mengenai penetapan komisaris dan direksi apakah perlu kita perketat. Kalau yang fundamental seperti wewenang Menteri BUMN sendiri seperti apa, Menteri Keuangan seperti apa. Porsi daripada penugasan perusahaan BUMN itu seperti apa, apakah pembukuannya harus sama atau dipisahkan,” tandas Hekal.

Baca juga: Presiden dan Kapolri Tinjau Vaksinasi Merdeka di Ponpes dan Tempat Ibadah Se-Indonesia

Sebelumnya, Dr. Sihabudin SH.MH. dalam paparannya menjelaskan, keberadaan doktrin Business Judgement Rule (BJR) dan prinsip-prinsip fiduciary duty semakin tidak ideal karena tidak sepenuhnya memberikan perlindungan kepada direksi dan pimpinan BUMN atas tindakan atau pengambilan keputusan yang berdasarkan itikad baik, jujur, hati-hati, dan dilakukan sepenuhnya untuk kepentingan perusahaan.

Doktrin BJR memberikan perlindungan terhadap direksi perusahan untuk tidak bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari suatu konsekuensi apabila tindakan direksi didasarkan pada itikad baik dan sifat hati-hati.

Business judgment rule ini merupakan doktrin yang mengajarkan bahwa keputusan direksi mengenai aktivitas perseroan tidak dapat langsung dipersalahkan oleh siapa pun meski keputusan tersebut merugikan perseroan. Seiring dengan perjalanannya Doktrin business judgement rule ini juga beriringan dengan penerapan Good Corporate Governance, dimana Doktrin Bussines Judgment Rule ini mengharuskan direksi untuk menjalankan prinsip Good Corporate Governance untuk menjamin semua tindakan keputusan yang diambil telah sesuai dan tepat. Atau dengan kata lain doktrin Business Judgement Rule ini baru secara aktif melindungi direksi apabila dalam menjalankan perseroan, direksi telah menjalankan prinsip Good Corporate Governance,” jelasnya.

Sihabudin menilai masih terdapat disharmonisasi atau adanya konflik norma yang mengatur tentang posisi direksi BUMN, utamanya BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas (Persero).

Satu sisi direksi bertanggung secara perdata sebagaimana diatur di UU Perseroan Terbatas, tetapi di sisi lain juga diberlakuan hukum publik, karena dianggap mengelola uang dimasukkan ke dalam BUMN sebagai uang negara, sehingga diperiksa secara keuangan negara.

“Disarankan, agar kiranya bagi BUMN sistem pengelolaan dan tanggung jawab berdasarkan doktrin atau prinsip pengelolaan usaha atau bisnis yang berlaku bagi dunia usaha pada umumnya. Agar BUMN ini dapat berkembang dengan sehat dalam mengemban misi mensejahterakan kehidupan bangsa,” tutupnya. (rls)

Back to top button