Transisi Energi Fosil ke EBT Masih Membutuhkan Waktu Panjang
MetroBanten, DPR – Transisi energi fosil yang selama ini masih dikonsumsi ke energi baru dan Energi Baru Terbarukan (EBT) masih membutuhkan waktu panjang.
Transisi ini kelak harus dilakukan bertahap, terarah, dan terukur, sambil menyiapkan sistem energi listrik nasional.
Anggota Komisi VII DPR RI Diah Nurwitasari mengatakan, saat ini pihaknya sedang membahas Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang di dalamnya membicang pula isu transisi energi fosil ke EBT.
BACA JUGA: Penyalahgunaan Narkotika Harus Ditangani Secara ‘Extraordinary’
Sebelumnya, RUU ini sudah disetujui Rapat Paripurna DPR dan kini sedang diajukan ke pemerintah untuk dibahas bersama.
“Banyak sebenarnya yang menjadi poin krusial. Intinya adalah mendorong sektor energi nasional ke arah pengembangan energi baru dan energi terbarukan untuk kemandirian energi. Kita ingin adanya transisi yang terarah, bertahap, terukur, dan rasional, sambil tetap menjaga keseimbangan pasokan dan kebutuhan serta kesiapan sistem ketenagalistrikan nasional,” jelas Diah secara eksklusif kepada Parlementaria saat diwawancara Parlementaria via Whatsapp, Kamis (23/6/2022).
Dengan transisi energi ini, lanjut legislator dapil Jawa Barat II tersebut, bisa menjadi modal pembangunan berkelanjutan, mendukung perekonomian nasional, dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia.
BACA JUGA: Pemprov Banten Komitmen Tata Kelola Pemerintahan Bebas KKN
Namun, transisi ini tidak mudah, mengingat harga EBT masih relatif mahal dibanding energi fosil. Selain itu, masih ujar Diah, energi EBT melibatkan sistem yang besar dengan elemen yang beragam. Sekali lagi, perlu waktu dan sinergi yang baik untuk melakukan transisi ini.
“Kita ingin proporsi EBT menjadi lebih besar. Pembangkit EBT harus mulai masif dibangun. Dalam RUU ini ada pasal 7 yang menyatakan bahwa Pemerintah Pusat yang menetapkan peta jalan pengembangan EBT. Target resmi kita yang sekarang adalah bauran energi terbarukan sebesar 23 persen di tahun 2025.’ Jelasnya.
Ini tentu target yang ambisius yang ingin dicapai. Bahkan, ada klausul khusus, yaitu pasal 6 ayat (7) yang menyatakan bahwa seluruh pembangkit listrik tenaga diesel wajib diganti menjadi pembangkit listrik EBT paling lambat pada tahun 2024,” tutup politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini. (Red)