Metrobanten, Serang – Berbagai modus dan tipu daya dilakukan pelaku untuk melancarkan aksinya. Hal yang paling banyak dilakukan adalah berkenalan di media sosial (medsos), kemudian mengajak bertemu, dan akhirnya terjadi tindak pelecehan seksual, bahkan disertai kekerasan. Yang lebih parah, pelakunya ada yang masih di bawah umur dan dilakukan lebih dari satu orang.
Miris, mungkin itu satu kata yang bisa menggambarkan keadaan ini. Meski punya julukan daerah Kampung Jawara dan Sejuta Santri, nyatanya ada 35 kasus kekerasan seksual terhadap anak sepanjang periode Januari hingga Juli 2020 di Banten. Itu artinya setiap lima hari ada satu kasus kekerasan seks terhadap anak-anak di wilayah tersebut.
“Kebanyakan kasus ini pelakunya lebih dari satu orang, dan sebelum disetubuhi korban dicekoki obat terlarang dan minuman keras,” ungkap Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Banten, Uut Lutfi, Jumat (24/7/2020).
Dari jumlah kasus tersebut, katanya, pelaku tidak hanya kategori usia dewasa namun ada juga yang kategori usia anak, yaitu usianya di bawah 18 tahun. Dan ada kasus yang TKPnya di tempat penginapan.
Menurut Uut, sangat disayangkan masih ada sekolah yang menolak atau memindahkan siswanya yang menjadi korban pelecehan seksual, dengan alasan melanggar kode etik dan aturan disekolah tersebut. Meski saat peristiwa itu terjadi, korban belum menjadi siswa di sekolah tersebut.
“Sudah saatnya dunia pendidikan harus mengedepankan prinsip-prinsip dan tujuan perlindungan anak sebagaimana yang diatur Pasal 54 Undang-undang (UU) Perlindungan Anak dan UU Sistem Pendidikan Nasional,” terangnya.
Dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten ini mengharapkan, semua pihak lebih peduli dengan kehidupan dan masa depan anak-anak Indonesia. Orangtua bisa menjadi teman sekaligus guru bagi putra putrinya. Kemudian pemerintah dengan berbagai institusinya dan dunia usaha, bisa mendorong kehidupan yang lebih aman dan nyaman bagi generasi penerus bangsa itu.
“Kami pun mendorong bagi sahabat media untuk terus menyuarakan dan menginformasikan terkait persoalan anak dengan tetap menjaga kode etik,” jelasnya. (red)