Erick Thohir: Kita Butuh 17,5 Juta Tenaga Kerja di Sektor Teknologi
MetroBanten, Jakarta – Indonesia membutuhkan 17,5 juta tenaga kerja yang memiliki skill teknologi yang mumpuni. Kebutuhan itu mendesak di tengah disrupsi teknologi saat ini.
Menteri BUMN Erick Thohir mencatat, kebutuhan 17,5 juta human capital atau sumber daya manusia di sektor teknologi diperlukan untuk mendorong pertumbuhan makro ekonomi nasional.
“Kita memerlukan yang namanya knowledge based economy, kita memerlukan 17,5 juta tenaga kerja yang melek teknologi, kita memerlukan pengusaha baru yang mengerti teknologi,” ujar Erick saat memberi kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Prof Dr. Hamka Jakarta, Kamis (20/1/2022).
BACA JUGA: Komisi IX DPR Dorong BPJS Kesehatan Tingkatkan Mutu Pelayanan
Pemerintah, kata Erick, menginginkan akselerasi human capital berbasis digital. Karena itu, otoritad tidak mau terjebak dalam pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan tol, bandar udara (bandara), hingga pelabuhan.
Menurutnya, jenis infrastruktur fisik itu akan terus dibangun, akan tetapi pemerintah juga berkonsentrasi pada pembangunan infrastruktur digital seperti data center hingga fiber optik. Erick menilai, 2-3 tahun kedepan akan menjadi masalah bagi Indonesia, bila konstruksi infrastruktur digital tidak dimulai saat ini.
“Pembangunan yang namanya digital infrastruktur, ini yang menjadi masalah 2-3 tahun kedepan. Karena itu kita dorong sekarang di pemerintahan di kementerian, termasuk kami di Kementerian BUMN untuk melakukan pembangunan yang namanya data center, fiber optik, wifi masuk desa,” ungkap dia.
BACA JUGA: KPK Operasi Tangkap Tangan Hakim PN Surabaya, Panitera dan Pengacara
Di lain sisi, Erick khawatir 17,5 juta pekerja justru merupakan tenaga kerja asing. Kekhawatiran itu didasarkan pada sejumlah posisi di perusahaan rintisan atau startup di Indonesia yang didominasi perja luar.
“Tadi saya bilang 17,5 juta yang akan diciptakan itu akan diisi orang lain, kenapa? Realitanya sudah terjadi saat ini, kita banyak startup, itu makanya saya tegur startup-startup itu, ketika jadi besar dia outsource ke India ke Rusia, mereka sulit mendapatkan di sini yang namanya data scientist, Indonesia paling ada 12 orang dan semuanya dibawa ke Singapura, gajinya lebih besar, data scientist kita kurang,” jelas Erick.