MPR RI Apresiasi Polisi Tangkap 11 “Debt Collector” Lakukan Aksi Kekerasan Premanisme

MPR RI Apresiasi Polisi Tangkap 11 "Debt Collector" Lakukan Aksi Kekerasan Premanisme
Ketua MPR, Bambang Soesatyo. ANTARA/MPR

 

Metrobanten, Jakarta – Ketua MPR, Bambang Soesatyo, mengapresiasi langkah tegas aparat gabungan TNI dan polisi yang menangkap 11 penagih utang atau debt collector yang melakukan aksi kekerasan premanisme dengan mengepung mobil yang dikendarai bintara pembina desa Kodam Jaya, Sersan Dua Nurhadi di Koja, Jakarta Utara.

Menurut dia, debt collector tidak memiliki landasan hukum dan kewenangan untuk menarik kendaraan debitur secara paksa sehingga polisi harus menindak tegas aksi premanisme debt collector yang nekad mengambil paksa kendaraan debitur secara sepihak.

“Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020, menegaskan, perusahaan pemberi kredit (leasing) atau kuasanya (debt collector) tidak bisa mengeksekusi obyek jaminan fidusia atau agunan seperti kendaraan atau rumah secara sepihak,” kata dia, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Ia juga meminta kepolisian menindak tegas oknum PT ACK dan meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan sanksi berat kepada perusahaan leasing Clipan Finance sesuai kewenangan yang diberikan negara kepada OJK.

Baca juga: Diduga Suap Lelang Jabatan, KPK Tangkap Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat
Ia menilai kejadian itu harus menjadi pelajaran, tidak saja bagi para debt collector tapi juga bagi perusahaan leasing lain agar tidak seenaknya bertindak. “Terlebih tindakan pengambilan paksa kendaraan bisa dijerat pasal 362 dan/atau pasal 365 KUHP,” ujarnya.

Ia menjelaskan, dalam putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 diatur kreditur atau kuasanya (debt collector) harus terlebih dahulu meminta permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri untuk bisa menarik obyek jaminan fidusia.

Menurut dia, kreditur atau kuasanya juga tetap boleh melakukan eksekusi tanpa melalui pengadilan dengan syarat pihak debitur mengakui ada wanpretasi. “Kewajiban debitur menyelesaikan piutangnya merupakan satu sisi yang tidak boleh dijadikan alasan melakukan teror yang disertai penggunaan kekerasan, ancaman, maupun penghinaan terhadap martabat debitur,” katanya.

Menurut dia, debt collector yang menyita sepihak atau mengambil secara paksa barang-barang milik debitur secara melawan hukum, dapat dilaporkan ke polisi.

Politisi Partai Golkar itu menilai perbuatan tersebut bisa dijerat pasal 362 KUHP tentang pencurian, dan jika dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan maka juga bisa dijerat dengan pasal 365 ayat (1) KUHP.

Baca juga: Bareskrim Tetapkan Bupati Nganjuk Sebagai Tersangka Suap Jual Beli Jabatan

“Kreditur sebagai pihak yang memberi kuasa terhadap debt collector punya peran besar menegakan etika penagihan, antara lain dilarang memaki, dilarang menggunakan ancaman/kekerasan/mempermalukan,” ujarnya.

Selain itu menurut dia kreditur sebagai pihak yang memberi kuasa terhadap “debt collector” tidak menagih kepada pihak yang tidak berhutang walaupun itu adalah keluarga debitur, dan tidak menagih di luar jam kerja yang bisa mengganggu kenyamanan dan keamanan masyarakat.

Sebelumnya, Polres Metro Jakarta Utara menangkap 11 orang penagih utang atau debt colector yang menghadang Nurhadi.

Para tersangka adalah YAK (23 tahun), JAK (29), HHL (26), HEL (27), PA (29), GL (38), GY (27), JT (21), AM (27), DS (26), dan HR (25). (red)

Back to top button