WALHI Gelar Aksi: Banten Dikepung PLTU Batubara, Harus Beralih ke Energi Bersih Sekarang
Metrobanten, Serang – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bersama jejaring masyarakat sipil menggelar aksi damai di depan kantor Gubernur Banten memperingati Hari Listrik Nasional ke-75.
WALHI menyuarakan bagaimana Banten sudah dalam keadaan darurat polusi karena dikelilingi puluhan Pembangkit Listrik Tenaga Batubara (PLTU) yang menghasilkan polutan berbahaya.
Dalam aksi yang menerapkan protokol kesehatan Covid-19, WHLI mendesak dihentikannya proyek PLTU Jawa 910 dan menyoroti Pemprov Banten agar segera beralih ke energi bersih terbarukan.
Direktur Walhi Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi menyebut bahwa banyaknya PLTU yang mengepung Banten (termasuk di dalamnya pembangkit listrik berbahan bakar energi kotor batubara di kawasan industri) tidak terlepas dari lemahnya peran pemerintah daerah dalam kerangka pengembangan ketenagalistrikan nasional.
Baca juga: Pantai Sawarna dan Wisata Baduy Ditutup Saat Libur Panjang Oktober 2020
“Pemerintah Banten terus-menerus memberikan kemudahan izin pembangunan PLTU di wilayahnya. Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah abai terhadap keberlanjutan lingkungan dan kesehatan warganya,” ucap Tubagus.
“Studi Trend Asia menunjukkan bahwa saat ini telah terdapat sekitar 19 unit PLTU batubara mengepung masyarakat Banten. Jumlah sebanyak ini menempatkan Banten sebagai salah satu provinsi dengan unit PLTU batubara terbanyak” ujarnya.
Baca juga: Pengadaan Vaksin COVID-19, Jokowi: Kita Gerak Cepat, tapi Perencanaan Matang
Tubagus menambahkan, beban polusi Banten akan bertambah berat dengan rencana kontroversial pembangunan PLTU baru seperti PLTU Jawa 9 & 10 di Cilegon. Pembakaran batubara puluhan unit PLTU di Kampung Jawara ini diproyeksikan akan menambah pencemaran udara bahkan hingga wilayah DKI Jakarta.
Madhaer Efendi, Koordinator Pena Masyarakat mengatakan, ketika kecenderungan pembangunan global mulai meninggalkan batubara, Banten justru seperti tidak puas dengan PLTU Batubara yang sudah begitu banyak dan terus ingin membangun kembali.
“Hal ini harus dicegah, jangan sampai Banten akan dikenal sebagai daerah yang tercemar dan mencemari wilayah di sekitarnya,” ujar Madhaer.
Dari laporan Greenpeace mengemukakan bahwa proyek pembangkit listrik batubara bernilai 3,5 miliar dolar Amerika tersebut berpotensi menyebabkan 4.700 kematian dini selama 30 tahun masa operasionalnya.
Madhaer mengatakan, saat ini orientasi pengembangan energi yang bertumpu pada batubara mengakibatkan Banten menjadi provinsi dengan utilisasi potensi energi bersih terendah. Utilisasi potensi energi bersih daerah bahkan tidak mencapai 1% dari total potensi energi bersih terbarukan yang mencapai 5000 MW.
“Banten, sebagai sebuah daerah, orientasi pembangunannya sengaja diciptakan secara struktural untuk ketergantungan terhadap sumber energi kotor batubara. Kondisi semacam ini harus segera dibenahi. Pemerintah Banten harus segera mengambil langkah nyata untuk melindungi warganya dari bahaya polusi PLTU Batubara. Caranya, desak penghentian operasi PLTU tua dan hentikan rencana pembangunan PLTU baru seperti PLTU Jawa 9-10,” ujar Andri Prasetiyo, Peneliti dan Pengampanye Trend Asia.
“Kondisi ketenagalistrikan di sistem Jawa-Bali yang oversupply atau kelebihan pasokan hingga 40%, seharusnya menjadi momentum bagi Banten untuk serius memulai optimalisasi potensi energi bersih seperti angin dan matahari yang melimpah. Sudah saatnya Banten mandiri energi dan lepas dari ketergantungan batubara,” imbuhnya.
“Terlebih, saat ini secara biaya pembangunan pembangkit listrik bertenaga angin dan khususnya matahari telah mencapai nilai keekonomian yang lebih terjangkau (Carbon Brief, 2020) dibanding batubara yang selama ini diklaim sebagai sumber energi termurah” pungkasnya. (Ky)