Apa Itu Lebaran ?

Menjelang Lebaran kesibukan Umat Muslim diseluruh penjuru nusantara nampaknya makin bertambah. Pasalnya, lebaran yang tinggal menghitung hari ini harus dipersiapkan secara baik sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.

Bahkan, ada nasihat bijak begini,” lebaran tahun ini harus lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya”. Itu artinya, lebaran tahun ini harus serba baru dan tidak boleh menggunakan barang-barang yang dipakai pada lebaran tahun lalu?

Benarkah penafsirannya demikian?

Jawabannya jelas tidak. Sebab, lebaran itu bukan soal baru atau lama nya sebuah barang dipakai. Lebaran bagi umat muslim yang beriman (Islam murni) ialah sebuah perayaan dari sebuah kemenangan melawan nafsu selama sebulan.

Karena itu hakikat berlebaran bukanlah baju nya yang baru. Sepatu nya yang baru. Atau kemejanya yang baru. Sebaliknya, Lebaran ialah bentuk pembaruan jiwa yang selama sebulan berhasil menumbangkan nafsu kedasar jurang terdalam diri manusia.

Namun, apakah semua umat muslim menghayati lebaran dengan seperti itu? Jawabannya tidak. Selama ini doktrin keberagamaan Umat Islam yang diwariskan turun temurun, khususnya umat Islam di Indonesia hanyalah terpaku pada bentuk luarnya saja.

Keberisalaman kita makin hari makin menjadi buih dilautan sebagaimana Azyumardi Azra, seorang cendekiawan muslim mengatakan.
Bahkan secara kuantitas umat Islam memang banyak jumlahnya bahkan mayoritas di negeri ini.

Namun, dengan begitu hanya seperempatnya saja yang menjalankan Islam secara benar-benar murni alias berkualitas baik secara ibadah serta muamalahnya. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan Islam murni adalah, sebuah ajaran Islam yang berdasar kepada Al-Quran dan Hadits.

Islam yang sejalan serta senafas dengan ajaran Nabi Muhammad tanpa dikurangi serta dilebihkan. Kemurnian Islam inilah yang menjadi tantangan bagi umat Islam Indonesia untuk mengamalkannya. Lawan dari Islam murni adalah ajaran Islam yang serba simbolik-formalistik.

Berita Terkait  Aksi Bakar Lilin Oleh Solidaritas Masyarakat Papua Di Taman Imbi Kota Jayapura Provinsi Papua.

Ajaran simbolik-formalistik itu sendiri telah berakar jauh pada tradisi Islam sebagaimana Islam murnipun berakar jauh pasca nabi Muhammad SAW wafat.Persoalan ini penting dikemukakan karena kemurniaan Islam saat ini terkontaminasi dengan ajaran-ajaran yang sesungguhnya tidak memiliki landasan yang kuat dalam tradisi Islam apalagi ajaranNya.

Sebagai contoh fenomena bulan Ramadhan misalnya. Bagaimana di minggu-minggu terakhir Ramadhan ini masjid sepi dari para jamaah.
Mereka kini berlomba-lomba menyiapkan segala sesuatu yang sifatnya kebendaan: baju baru, celana, kemeja, mukena, baju koko, kosmetik, jam dan lain sebagainya. Maka masjid sepi, pasar justru ramai.

Adapula yang sibuk menyiapkan mudik bersama keluarga sehingga lupa kewajibannya untuk berpuasa dan taraweh. Kesemua contoh diatas hanyalah sebagian kecil daripada penerapan Islam yang serba formalistik.

Karena ciri penganut Islam yang serba formalistik ialah lebih mengutamakan tampilan luar daripada hakikat Islam dari dalam diri (Islam substansi). Atau dalam kata lain, lebih mengutamakan solat di masjid karena ingin dilihat tetangga, ikut menyumbang masjid karena berharap pencitraan publik, ikut mengaji karena menjaga gengsi dan aneka prilaku formalistik lainnya baik secara makro dan mikro.

Lalu apakah berislam dengan cara seperti itu salah? Terlalu naïf rasanya bila mengatakan bahwa Islammu, salah dan Islamku yang benar. Karena salah dan benarnya sebuah ajaran ketuhanan sudah seharusnya dikembalikan pada Tuhan untuk diberikan penilaiaan.

Itu artinya sebagai umat manusia khususnya Umat Islam Indonesia, tugas kaum muslim hanyalah berbuat baik dan membangun sifat-sifat humanis dalam bersosialisasi kepada sesama, baik kepada manusia seiman dan mereka yang non muslim terutama di bulan Ramdhan (toleransi).

Karena itu, lebaran adalah puncak kemenangan bagi umat Islam dari perang melawan hawa nafsu. Jadikan lebaran momentum perlawanan atas nafsu syetan yang ingin berkuasa lagi setelah 30 hari diusir dari jiwa manusia.

Jangan sampai terjebak dengan nikmat belanja sehingga lupa bahwa setan itu bisa berubah bentuk menjadi apa saja. !. Maka, agar tidak dianggap berteman dengan setan, kurangilah belanja di Iedul Fitri ini gantilah dengan perbanyak sedekah dan beramal jariyah. Semoga saja. !

Rudy Gani
Penulis Adalah, Aktivis Sosial.

Back to top button