APBN 2023 Antisipatif dan Responsif di Tengah Transisi Pasca Pandemi

APBN 2023 Antisipatif dan Responsif di Tengah Transisi Pasca Pandemi.

 

MetroBanten, Jakarta – Keberhasilan Pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia dalam penanganan pandemi Covid-19 menjadi pijakan penting dalam menyambut tahun baru mendatang.

Meskipun kondisi masih diliputi ketidakpastian, Indonesia hingga saat ini terbukti telah menjadi salah satu negara yang berhasil menahan dampak krisis baik dari sisi kesehatan, sosial, hingga ekonomi.

“Pemulihan ekonomi Indonesia yang cukup kuat yang kita jaga bersama dan pengendalian pandemi Covid-19 secara efektif, tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Ini merupakan hasil kerja keras dari berbagai upaya luar biasa dari kita bersama Pemerintah dan DPR serta segenap unsur masyarakat, akademisi dan para ahli serta dunia usaha. Sejak awal pandemi bulan Maret 2020” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Rapat Paripurna DPR RI mengenai Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) tahun 2023, yang merupakan bahan Pembicaraan Pendahuluan dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2023.

“Kebijakan ekonomi makro dan kebijakan fiskal memainkan peran yang sangat penting dalam menangani guncangan hebat akibat Pandemi dan dampaknya yang multidimensi, kompleks dan luar biasa,” tambahnya.

Kebijakan fiskal didesain untuk merespon dinamika perekonomian, menjawab tantangan dan mendukung target pembangunan.

Peran APBN sebagai instrumen kebijakan fiskal sangat fundamental dalam upaya pengendalian pandemi dan pemulihan ekonomi nasional.

BACA JUGA: Salurkan Bansos, Presiden Jokowi Harap Ekonomi Pulih Kembali

Hal ini salah satunya tercermin dalam anggaran Program Penanganan Pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) yang senantiasa dialokasikan dari tahun ke tahun.

Fleksibel menjawab kebutuhan yang dinamis. Seiring dengan pandemi yang bertransisi menjadi endemi tahun ini, peran APBN dirumuskan dengan sangat hati-hati agar dapat optimal mempercepat pemulihan dan penciptaan lapangan kerja, serta menjadi penyerap risiko (shock absorber) dalam menghadapi tantangan global yang saat ini terjadi.

“Risiko dan tantangan ke depan, terutama dari sisi eksternal, perlu terus diwaspadai. Selain pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya selesai, ada dua tantangan besar lain perlu terus menjadi perhatian dan diantisipasi oleh Pemerintah yaitu lonjakan inflasi global, terutama akibat konflik Rusia – Ukraina dan percepatan pengetatan kebijakan moneter global, khususnya di Amerika Serikat,” lanjut Menkeu.

Selain itu, terdapat potensi risiko lainnya yang terus diwaspadai seperti biaya dana (cost of fund) yang tinggi, kenaikan harga komoditas, dan risiko stagflasi yaitu kondisi dimana terjadi inflasi dan perlambatan ekonomi secara bersamaan.

Jika eskalasi risiko global terus berlanjut, perekonomian global dapat menghadapi tiga potensi krisis yaitu krisis pangan, krisis energi dan krisis keuangan.

Untuk merespon kondisi tersebut, APBN didorong berfungsi sebagai shock absorber dengan cara melindungi daya beli masyarakat, menjaga pemulihan ekonomi, dan menjaga fiskal tetap sehat dengan upaya konsolidasi di tahun 2023 yang merupakan tahun pertama defisit maksimal 3% PDB sejak merespons kondisi luar biasa pandemi.

Dalam kondisi pemulihan ekonomi dan kesejahteraan yang masih awal, ketersediaan dan keterjangkauan harga energi dan pangan menjadi sangat krusial untuk menjamin daya beli masyarakat dan menjaga keberlanjutan proses pemulihan ekonomi nasional.

Sehingga di tahun 2022, APBN menyerap tekanan kenaikan harga komoditas global dengan meningkatkan kebutuhan belanja subsidi dan kompensasi atas BUMN yang ditugaskan dalam menjaga pasokan dan stabililtas harga BBM dan listrik.

Oleh sebab itu, dibutuhkan konsolidasi fiskal yang berkualitas yaitu yang disertai reformasi fiskal yang holistik.

Di sisi lain, perbaikan ekonomi yang terjadi secara konsisten serta implementasi reformasi perpajakan telah membentuk landasan yang sangat kuat dalam mendukung upaya penyehatan fiskal.

Faktor pendukung lainnya adalah penerimaan negara yang terus meningkat, termasuk oleh dampak positif dari kenaikan harga komoditas dunia.

Ke depan, selain berperan menjaga pemulihan ekonomi nasional, APBN juga diarahkan untuk mendorong produktivitas nasional melalui pemanfaatan key emerging trends dan reformasi struktural untuk mendukung transformasi ekonomi.

“Akselerasi agenda reformasi struktural pascapandemi Covid-19 mutlak diperlukan melalui peningkatan kualitas SDM, pembangunan infrastruktur, dan reformasi birokrasi dan regulasi. Penguatan program pendidikan, kesehatan, serta perlindungan sosial sangat krusial dalam mengatasi isu fundamental atas rendahnya tingkat produktivitas nasional”, papar Menkeu.

BACA JUGA: Menparekraf Luncurkan Program Kharisma Event Nusantara 2022

Dorongan kepada keberlanjutan tahapan industri manufaktur akan memacu pengembangan produk-produk dalam negeri yang memiliki nilai tambah lebih tinggi dan mampu berkompetisi di pasar global.

Sementara, pengembangan ekonomi digital akan menambah resiliensi ekonomi di tengah transisi pandemi menjadi endemi yang kian dekat.

Selain itu, sejalan dengan tujuan mewujudkan Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih awal, pembangunan ekosistem ekonomi yang ramah lingkungan merupakan wujud komitmen bersama dalam mengatasi isu perubahan iklim.

Dengan mencermati berbagai hal tersebut, kebijakan fiskal tahun 2023 mengusung tema “Peningkatan Produktivitas untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan” yang fokus pada 5 (lima) strategi yaitu:

1) peningkatan kualitas SDM yang mencakup kesehatan, perlindungan sosial, dan pendidikan.

2) percepatan pembangunan infrastruktur.

3) penguatan reformasi birokrasi.

4) revitalisasi  industry.

5) pengembangan ekonomi hijau.

Untuk mendukung strategi kebijakan tersebut diperlukan reformasi fiskal yang holistik melalui  mobilisasi pendapatan, komitmen belanja yang lebih baik (spending better) dan inovasi pembiayaan yang inovatif dan berkelanjutan akan dijalankan dan terus diperkuat.

Mobilisasi pendapatan dilakukan dengan tetap menjaga iklim investasi dan keberlanjutan dunia usaha serta kelestarian lingkungan. Hal ini ditempuh dengan menjaga efektivitas reformasi perpajakan (UU HPP), mendorong agar sistem perpajakan lebih sehat dan adil sehingga dapat mendorong perluasan basis pajak serta peningkatan kepatuhan wajib pajak.

Sementara itu, optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ditempuh dengan peningkatan inovasi layanan dan reformasi pengelolaan aset. Sistem perpajakan terus dibangun untuk dapat menjawab tantangan dan merespons dinamika perekonomian di masa depan.

Penerimaan negara yang semakin baik akan diikuti dengan pelebaran ruang fiskal untuk membiayai program-program produktif dalam mengakselerasi transformasi ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.

Selanjutnya, spending better dilakukan dengan mengarahkan dukungan APBN kepada kegiatan yang memberi manfaat nyata dan langsung pada masyarakat dengan output dan outcome yang semakin berkualitas.

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, belanja negara akan fokus ke pemerataan pembangunan, pengentasan kemiskinan, pengurangan kesenjangan, perluasan kesempatan kerja, peningkatan produktivitas, serta peningkatan daya beli masyarakat.

Untuk meningkatkan produktivitas, belanja negara akan difokuskan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia, percepatan pembangunan infrastruktur, penguatan implementasi reformasi birokrasi, mendukung revitalisasi industri dan pengembangan ekonomi hijau.

Sementara itu, untuk antisipasi ketidakpastian, dibutuhkan strategi mitigasi risiko yang lebih solid dengan mendorong implementasi automatic stabilizer.

Pemerintah juga akan melakukan penghematan belanja barang, penguatan belanja modal, reformasi belanja pegawai, peningkatan efektivitas termasuk ketepatan sasaran belanja bantuan sosial dan subsidi, serta penguatan kualitas transfer ke daerah dan dana desa.

Pengelolaan pembiayaan, di sisi lain, akan terus dilakukan secara efisien, hati-hati, dan berkelanjutan. Defisit dan rasio utang akan tetap dikendalikan dalam batas aman sekaligus mendorong keseimbangan primer yang positif.

Kebijakan pembiayaan investasi akan terus dilakukan dengan memberdayakan peran BUMN, Sovereign Wealth Fund (SWF), Special Mission Vehicle (SMV), dan Badan Layanan Umum (BLU) dalam mengakselerasi pembangunan infrastruktur dan meningkatkan akses pembiayaan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, UMKM, dan Ultra Mikro (UMi).

Pemerintah akan terus mendorong peran swasta dalam pembiayaan pembangunan melalui kerangka Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) maupun mendorong penerbitan instrumen pembiayaan kreatif lainnya.

Pemerintah mengusulkan indikator ekonomi makro sebagai asumsi dasar penyusunan RAPBN 2023: pertumbuhan ekonomi 5,3% s.d. 5,9%; inflasi 2,0% s.d 4,0%; nilai tukar Rupiah terhadap USD Rp14.300 s.d  Rp14.800 per USD; tingkat suku bunga SBN 10 tahun  7,34% s.d 9,16%; harga minyak mentah Indonesia USD80 s.d USD100 per barel; lifting minyak bumi 619 ribu s.d 680 ribu barel per hari; dan lifting gas 1,02 juta s.d  1,11 juta barel setara minyak per hari.

Pendapatan negara akan meningkat dalam kisaran 11,19% sampai dengan 11,70% PDB, belanja negara mencapai 13,80% sampai dengan 14,60% PDB serta keseimbangan primer yang mulai bergerak menuju positif di kisaran -0,46% sampai dengan -0,65% PDB. Selain itu, defisit juga diarahkan kembali di bawah 3% antara -2,61% sampai dengan -2,90% PDB, dan rasio utang tetap terkendali dalam batas manageable di kisaran 40,58% sampai dengan 42,42% PDB.

“Selanjutnya, Pemerintah mengharapkan dukungan, masukan, dan kerja sama seluruh anggota Dewan dalam pembahasan KEM-PPKF 2023 tersebut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku”, tutup Menkeu. (Red)

Back to top button