Urban Disain Masjid Namira, Inspirasi Skala kecil Masjidil Haram

Metrobanten – Masjid Namira. Sepintas, masjid satu ini memang lain dari yang lain. Bangunan masjid yang terletak di Desa Jotosanur, Kecamatan Tikung, Lamongan ini lebih menyerupai bangunan masjid minimalis seperti layaknya masjid-masjid di timur tengah.

Masyarakat dan jamaah dibuat takjub dengan bangunan yang megah dan halaman parkir yang luas serta suasana bersih dan asri. Tak hanya itu saja kekhasan yang dimiliki Masjid Namira. Saat masuk ke masjid yang dibangun tahun 2013 lalu, sebuah kiswah berukuran besar di bagian depan mihrab imam yang sengaja didatangkan dari Masjidil Haram, berdiri kokoh dan dilindungi kaca. Kiswah-kiswah berukuran kecil pun juga dipajang di sekeliling area dalam masjid, menambah ketakjuban.

Tak hanya kiswah, masyarakat dan jamaah bisa mencium wewangian khas Tanah Suci Mekkah seakan menambah kerinduan akan Baitulloh. Tak bisa dipungkiri, siapa saja yang menginjakkan kaki ke dalam masjid juga dimanjakan dengan empuknya karpet seperti berada di Roudhoh Madinah atau rumah Rosulullah SAW. Suasana adem dan khusyuk pun terasa saat menjalankan salat.

Fasilitas-fasilitas masjid milik warga Lamongan ini juga menyediakan kursi roda dan tempat duduk bagi jamaah yang tidak bisa melakukan salat dengan berdiri. Tak jarang, pengunjung dari bebagai daerah itu juga bisa jadi ajang berswafoto.

Tak hanya arsitektur bangunan masjid saja yang disamakan. Tata letak tempat wudhu juga dibangun dengan nuansa khas Masjidil Haram dan Madinah. Wakil Takmir Masjid Namira, Ahrian Saifi mengatakan, sebelumnya masjid memiliki luas 1 hektar dan mampu menampung 500 jamaah. Namun pada perkembangannya, masjid ini diperluas dan dibangun lagi kurang lebih 2,7 hektar dan mampu menampung tiga kali lipat dari bangunan sebelumnya.

Menurutnya, nama Masjid Namira kita ambil dari nama salah satu masjid yang ada di Padang Arofah Arab Saudi. “Nama Masjid Namira kita ambil dari nama salah satu masjid yang ada di Padang Arofah di Arab Saudi,” jelasnya.

“Dengan bangunan yang mirip di Arab Saudi ini, kami berharap semua golongan bisa masuk di masjid ini,” tuturnya. Ramadhan tahun 2017 ini, menurut Ahrian, adalah puasa pertama di lokasi pembangunan Masjid Namira yang baru. Masjid Namira dibuka pertama kali 1 Juni 2013 lalu. “Kita perluas karena saat ini parkir sepertinya kurang luas dan bisa menampung banyak jamaah,” kata Ahrian kepada detikcom saat ditemui di lokasi, Kamis (15/6/2017).

Sementara untuk perawatan Masjid Namira, Ahrian tidak bersedia menjelaskan berapa biaya yang dikeluarkan untuk mendatangkan kiswah dari Arab Saudi dan wewangian khas tanah Arab tersebut. Namun informasi yang didapat, setiap bulan Masjid Namira menghabiskan dana lebih dari Rp 500 ribu.
Selama satu bulan, biaya perawatan masjid menelan setidaknya Rp 200 juta yang sebagian besar digunakan untuk listrik. Sementara, ustadz yang menjadi imam yang berjumlah 6 orang di masjid ini hafidz-hafidz dengan bacaan Al Qurannya seperti di Arab Saudi.

Ahrian mengaku, Masjid Namira sengaja dibangun seperti di Arab Saudi agar masyarakat yang belum berkesempatan datang ke tanah suci atau rindu suasana Masjidil Haram bisa merasakan nuansa itu di masjid ini. Dan bangunan masjid sengaja dibangun minimalis agar bisa didatangi semua golongan dan merasakan hal yang sama.

Masjid Namira saat ini salah satu masjid di Lamongan yang menjadi jujugan sejumlah orang untuk beribadah. Saat ramadan, banyak pengunjung yang melakukan ngabuburit di masjid. Sebab, pihak pengurus menyediakan takjil bagi yang datang. Dan bagi pengunjung bisa mengikuti salat tarawih yang digelar sebanyak 2 kali. Dengan imam salat tarawih yang sengaja didatangkan dari timur tengah. Tak hanya jadi jujugan untuk ngabuburit dan salat, masjid milik perseorangan ini seringkali digunakan sebagai tempat akad nikah, pengajian dan lain-lain.

Salah seorang jamaah yang biasa beribadah di masjid Namira, Faisol mengaku senang beribadah di masjid ini karena suasana dan nuansanya yang khas. Faisol mengaku bisa merasakan suasana beribadah seperti di tanah suci meski belum pernah ke tanah suci. “Suasana khas dan arsitekturnya mengingatkan kita akan masjid-masjid di tanah suci,” terangnya.

Sementara pengunjung asal Sidoarjo, Mayang (40) mengaku saat rindu Baitulloh, dirinya bersama suami dan anak-anaknya sengaja datang ke Masjid Namira. “Kalau kangen Masjidil Haram, saya dan keluarga sengaja datang ke masjid ini. Benar-benar bisa merasakan nuansa Mekkah dan Madinah kalau sudah ada di sini,” jelas Mayang terkagum-kagum. (net/dtk)

 

 

Back to top button