Kenalkan Orangutan Tapanuli, Anggota Baru Keluarga Satwa Indonesia. Apa Saja Keunikannya?
Penelitian juga mengindikasikan, orangutan tapanuli merupakan moyang dari ketiga kera besar ini. Apa saja perbedaannya?
Metrobanten – Kerja Siti Nurbaya Bakar bakal makin sibuk pada hari-hari mendatang. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini telah mendapatkan laporan yang membuat dunia sains dan konservasi Indonesia kian bergairah: orangutan di Tapanuli punya nama ilmiah baru. Orangutan yang menghuni kawasan hutan di Ekosistem Batang Toru ini membutuhkan perhatian lebih lantaran populasinya tak lebih dari angka 800 individu. Selain itu, belum seluruh areal tinggal mereka punya status perlindungan.
Siti Nurbaya sudah melaporkan penemuan spesies kera besar terbaru itu kepada Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Dia menyebut, orangutan tapanuli baru ditemukan kembali di akhir tahun 1990-an. Sebelum masa itu, peneliti menganggap populasi orangutan Sumatra di alam bebas hanya tersebar di wilayah utara dari Danau Toba. Spesies orangutan tapanuli ini hanya ditemukan di ekosistem Batang Toru yang meliputi hutan dataran tinggi yang tersebar di tiga kabupaten Tapanuli.
Para ahli genomik-genetika konservasi, morfologi, ekologi, serta perilaku primata telah bersepakat menyatakan kera besar ini menyandang nama latin Pongo tapanuliensis. Kera besar Tapanuli ini juga secara resmi menjadi spesies ketiga setelah orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) dan orangutan sumatra (Pongo abelii).
Para peneliti sebelumnya menganggap orangutan tapanuli sebagai populasi kera besar paling selatan dari orangutan sumatra. Tapi, berdasarkan penelitian secara mendalam oleh kelompok peneliti Indonesia dan mancanegara dalam bidang genetika, morfologi, ekologi, dan perilaku, ternyata orangutan tapanuli secara taksonomi malah lebih dekat dengan orangutan Kalimantan sehingga harus dipisahkan menjadi spesies tersendiri. Penelitian juga mengindikasikan, orangutan tapanuli merupakan moyang dari ketiga kera besar ini.
Upaya penemuan ini bermula dari kerjasama antara Universitas Nasional, Institut Pertanian Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, University of Zurich, Switzerland, Yayasan Ekosistem Lestari (Sumatran Orangutan Conservation Programme), dan Yayasan Orangutan Sumatera Lestari (Orangutan Information Center) mengenai konservasi Orangutan Sumatera selama delapan tahun di Ekosistem Batang Toru. Begitu penelitian selesai, para peneliti itu segera melaporkan ke salah satu jurnal Current Biology untuk mengesahkan penemuan baru tadi.
Lantas bukti apa yang mengukuhkan spesies baru orangutan ini? Peneliti melihat ada perbedaan genetic yang sangat besar di antara ketiga jenis orangutan yang bermukim di Indonesia. Bahkan, perbedaan genetik itu melebihi saudara kera mereka, seperti gorila dataran tinggi dan rendah maupun simpanse dan bonobo di Afrika. Peneliti menduga orangutan tapanuli adalah keturunan langsung dari nenek moyang mereka yang berpindah dari Dataran Asia pada masa Pleistosen (+ 3.4 juta tahun silam).
Secara kasat mata, rambut yang menutupi tubuh si orangutan tapanuli itu lebih tebal ketimbang dua kerabatnya. Rambut tadi tampak keriting. Sementara itu, ukuran tengkorak dan tulang rahangnya lebih kecil. Anton Nurcahyo, peneliti orangutan yang tengah menyelesaikan studi doktoral di Australian National University (ANU) bersama dengan pakar taksonomi primata Prof. Dr. Colin Groves melakukan pengukuran tengkorak dan tulang rahang. “Kami sangat terkejut sekaligus senang ketika menemukan ukuran tengkorak yang sangat berbeda secara karakteristik dibandingkan dengan spesies lainnya,” kata Anton.
Lebih dalam, peneliti perilaku dan ekologi melaporkan fakta penguat. Orangutan tapanuli punya jenis panggilan jarak jauh (cara jantan menyebarkan informasi) yang berbeda. Jenis makanannya juga unik. Mereka hanya menyantap buah-buahan yang hanya ditemukan di Ekosistem Batang Toru.
Kabar gembira juga diikuti dengan kekhawatiran. Populasi orangutan tapanuli cuma berada di angka 800 individu. Mereka tersebar dalam tiga kantong hidup yang terpisah-pisah di Batang Toru. Populasi orangutan tapanuli terpecah ke dalam dua kawasan utama (blok barat dan timur) oleh lembah patahan Sumatera. Selain itu, ada populasi kecil di Cagar Alam Sibual-buali di sebelah tengara blok barat. Penyambungan kembali ketiga populasi orangutan tapanuli akan sangat penting untuk pelestarian dan untuk menghindari kawin silang (inbreeding).
“Terdapat tekanan antropogenik yang kuat terhadap keberadaan populasi orangutan tapanuli karena konversi hutan dan perkembangan lainnya,” ujar Puji Rianti, salah satu peneliti dari Institut Pertanian Bogor yang mempelajari genetika konservasi dari spesies orangutan di Sumatra. “Tindakan mendesak diperlukan untuk meninjau ulang usulan-usulan pengembangan daerah di wilayah ini sehingga ekosistem alami tetap terjaga demi keberlangsungan hidup orangutan tapanuli di masa depan.”
Ekosistem Batang Toru menjadi tempat hidup terakhir bagi mereka dengan jumlah individu terpadat. Pada 2015, pihak kementerian telah menyatakan ekosistem seluas 150.000 hektar ini menjadi kawasan lindung dengan status Kawasan Pengelolaan Hutan Lindung. Menurut catatan, sekitar 85% dari wilayah bersebaran status Hutan Lindung, sementara 15% hutan primer masih status Areal Penggunaan Lain. Tentu, pemerintah perlu mendorong penguatan status seluruh tempat hidup orangutan tapanuli. Pengelolaan kawasan pun harus mengedepankan upaya perlindungan pada orangutan jenis baru yang semakin sedikit populasinya.
“Pemerintah Indonesia sangat gembira terhadap kesimpulan baru ini,” ujar Siti Nurbaya. Menurutnya, kategori spesies baru ini semakin menunjukkan betapa kayanya wilayah Indonesia dengan keanekaragaman hayati yang masih relatif sedikit diketahui. Boleh jadi kabar yang menggembirakan itu bakal membuat kerja Siti Nurbaya semakin padat. Sebab, masih ada sejumlah pekerjaan rumah terkait perlindungan spesies dan pengelolaan kawasan pada masa mendatang di tengah laju pembangunan wilayah Sumatra. (NatGeoIndonesia)