BERIKAN PEMAHAMAN : DINAS PERTANAHAN KOTA TANGERANG GELAR PENYULUHAN HUKUM
Metrobanten, Kota – Sengketa tanah di masyarakat terus bergulir, bahkan banyak masyarakat yang awam akan hukum yang berkaitan dengan tànah. Untuk itu Dinas Pertanahan Kota Tangerang memberikan pemahaman lewat Penyuluhan Hukum Tentang Pertanahan bertemakan “Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah” agar masyarakat mengerti hukum.
Penyuluhan dihadiri oleh Ketua RT, RW, kader Kecamatan Karang Tengah, Kasie dan staff Dinas Pertanahan Kota Tangerang, di aula Kecamatan Karang Tengah pada Minggu lalu tanggal 8 November 2018, Rabu (14/11/18).
Plt Kepala Dinas Pertanahan Kota Tangerang Asep Suparman, SH.,MH mengatakan, acara penyuluhan hukum tersebut menghadirkan narasumber Dyah Wuri Sulistiyati, SH dan Muhàmmad Busro. Menurutnya, Berdasarkan Pasal 504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), ketiga benda dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak.
Diantaranya, Benda bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya, tujuannya atau penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda bergerak. Benda bergerak diatur dalam Pasal 509, 510 dan 511 BW. Kedua, benda tak bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya, tujuannya atau penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda tak bergerak. Benda tak bergerak diatur dalam Pasal 506, 507 dan 508 KUHPdt.
Kemudian, Kepemilikan Tanah merupakan bagian dari hukum benda kategori barang tidak bergerak. Karena tanah bersifat tetap maka harus dilindungi secara hukum dengan sejumlah dokumen kepemilikan. Secara umum dokumentasi kepemilikan tanah dalam masyarakat terbagi menjadi dua yakni tanah bersertifikat dan tanah yang belum bersertifikat. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), kepemilikan hak atas tanah wajib dibuktikan dengan sertifikat. Menurut Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang tersebut terdapat delapan jenis hak-hak atas tanah.
Antara lain:
1. hak milik, dibuktikan dengan sertifikat hak milik
2. hak guna usaha, dibuktikan dengan sertifikat hak guna usaha
3. hak guna-bangunan, dibuktikan dengan sertifikat hak guna bangunan
4. hak pakai
5. hak sewa
6. hak membuka tanah
7. hak memungut-hasil hutan
8. hak-hak lain
• Perolehan hak atas tanah
Secara umum hak atas tanah diperoleh melalui peralihan dan pemindahan hak atas tanah. Peralihan hak atas tanah menurut Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 dapat dilakukan melalui perbuatan hukum seperti jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum lainnya yang dibuktikan dengan Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang.
• Sengketa Pertanahan
Begitu penting dan berharganya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Pada masyarakat perkotaan secara ekonomi harga tanah cepat melambung tinggi karena meningkatnya kepadatan penduduknya. Kondisi demikian dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masyarakat berupa benturan kepentingan dibidang pertanahan antara perorangan dengan perorangan, perorangan dengan badan hukum baik pemerintah maupun swasta, badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya. Secara yuridis, timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Konflik pertanahan yang terjadi selama ini berdimensi luas, baik konflik horizontal maupun konflik vertikal. Konflik vertikal yang paling dominan yaitu antara masyarakat dengan pemerintah atau perusahaan milik negara dan perusahaan milik swasta.
“Misalnya salah satu kasus yang paling menonjol adalah kasus yang paling sering terjadi adalah permasalahan sertifikat ganda atau kepemilikan beberapa sertifikat pada sebuah bidang tanah,” jelas Asep yang juga dari Staf Ahli Bidang Hukum, Politik dan Pemerintahan.
Lebih lanjut, Suparman menjelaskan mengenai pengertian sengketa pertanahan dirumuskan dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, selanjutnya disebut PMNA/KBPN 1/1999, yaitu :
Perbedaan pendapat antara pihak yang berkepentingan mengenai keabsahan suatu hak, pemberian hak atas tanah, pendaftaran hak atas tanah, termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti haknya serta pihak yang berkepentingan yang merasa mempunyai hubungan hukum dan pihak lain yang berkepentingan terpengaruh oleh status hukum tanah tersebut.”
• Penyelesaian sengketa tanah
Apabila terjadi konflik pertanahan, yang terjadi minimal antara dua pihak, maka upaya penyelesaiannya tentu tidak dapat dilakukan sendiri / sepihak yang berdampak pada perbuatan main hakim sendiri. Penyelesaian konflik tersebut diperlukan peran pihak ketiga yang memiliki kewenangan dan pengetahuan hukum yang memadai. Langkah-langkah penyelesaian tanah dapat dilakukan secara :
1. Non Litigasi
Demokrasi Pancasila adalah musyawarah dan mufakat. Musyawarah berarti cara merumuskan suatu hal berdasarkan kehendak orang banyak atau rakyat.
2. Litigasi
Apabila penyelesaian melalui musyawarah di antara para pihak yang bersengketa tidak tercapai, demikian pula apabila penyelesaian secara sepihak dari Kepala Badan Pertanahan Nasional tidak dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka penyelesaiannya harus melalui pengadilan.
Dalam acara tersebut ada sesi tanya jawab dimana beberapa warga mengajukan pertanyaan diantaranya, Bahrudin menanyakan peranan dan fungsi pengadilan dan dimana perbedaannya. Yang dijawab oleh narsum sebagai berikut :
Kalau pengadilan hakim tidak bisa menolak, tetap diperiksa dan sesuai batasan-batasan yang ada, sedangkan PTUN apabila ada kesalahan misalkan dalam hal penulisan sertifikat, tata letak nama dan sebagainya. Bapak Drajat :
• Mengenai tanah waris yang setelah diukur ulang berbeda hasil ukurnya dan sisa hasil ukur kemudian di gunakan orang lain ?
• Jawab
Pada saat pengukuran seharusnya patok-patok batas tanah harus secara jelas terpasang dan disaksikan kedua belah pihak pihak sehingga tidak terjadi sengketa luas tanah. Apabila terjadi sengketa luas tanah maka jalan penyelesaianya yaitu melalui pegembalian batas apabila status haknya adalah sertifikat hal milik. Kemudian Ibu Maemunah yang menanyakan mengenai tanah yang tidak berada dipeta pada saat pengajuan permohonan sertifikat?
• Jawab
Biasanya floating peta yang belum bersertifikat (milk warga yang berbatas denga perumahan) akan masuk kebidang perumahan. Oleh karena itu si pemilik harus mengecek peta floating yang berbatasan tersebut setelah itu baru ibu musyawarahkan dengan pihak perumahan atau pengembang.
“Dengan adanya penyuluhan hukum mengenai sengketa tanah, Dinas Pertanahan Kota Tangerang berharap masyarakat sedikitnya memiliki pengetahuan mengenai permasalahan tanah terlebih yang menyangkut dengan hukum,” pungkas Asep Suparman. (Adv)